Homesick
Hari
ini sungguh melelahkan. Ketika berada di kampus tadi, aku mendapat telepon dari
tempatku bekerja, bahwa keadaan di sana sangat sibuk, sehingga mereka membutuhkan
tenaga tambahan. Berhubung kuliahku hari ini juga sudah selesai, maka
kuputuskan untuk segera menuju ke sana.
Ketika
sampai, aku disambut oleh rengekan anak kecil yang menggema dari seluruh tempat
ini. Walau kedengarannya berlebihan, tapi hal ini benar-benar terjadi. Anak-anak
yang dititipkan hari ini lebih banyak dan lebih rewel dari biasanya. Masalah
jumlah sih tidak masalah, tapi rewelnya mereka membuatku pusing. Di kampus
sudah cukup pusing, eh di tempat kerja malah semakin pusing.
Di
tengah kesibukanku mengurus anak-anak yang rewel ini, aku sempat teringat
kepada Bunda. Apa begini rasanya mengurus anak rewel dengan susah payah? Kalau
begitu, Bunda benar-benar hebat. Bisa mengurus aku dan Kak Mei yang cukup nakal
dan rewel hingga saat ini, ketika usia kami sudah menginjak kepala dua.
Kalau
membicarakan Bunda dan Kak Mei, aku jadi teringat rumah. Beginilah nasib anak
rantauan, sering terjangkit oleh virus yang bernama homesick. Apalagi
ketika kelelahan seperti ini, rasanya setelah sampai di tempat kost, aku ingin
segera mandi kemudian menelepon ke rumah. Sekadar berbagi cerita kepada Bunda
atau Kak Mei untuk mengurangi sindrom homesick yang menderitaku.
Baru
saja aku selesai mandi, kudengar dering dari telepon genggamku. Tanpa melihat
nama penelepon, aku mengangkat panggilan itu. “Halo, Asasalamu’alaikum,” sapaku
dengan sedikit malas, masih terpengaruh dengan emosi kelelahan dan homesick
yang menderitaku.
Beberapa
detik kemudian, terdengar suara merdu yang menyahut, “Wa’alaikumussalam, Nak.
Ini Bunda, bagaimana kabarmu hari ini?”
Mengetahui
yang menelepon adalah Bunda, raut wajahku berbinar. “Bunda!” seruku dengan
senang, “hari ini kabarku baik, Bun, hanya sedikit kelelahan saja. Habisnya,
anak-anak yang dititpkan hari ini begitu rewel.”
Setelah
mendengar kabar dan keluhanku hari ini, Bunda merespon, “Syukurilah hal itu,
Nak. Bukankah dengan begitu, tempatmu bekerja semakin mendapat keuntungan?
Lagian, kamu pasti mendapat bonus lebih. Di setiap pengorbanan yang dilakukan
pasti ada hasilnya. Benar kan?”
“Hehehe
Bunda tahu aja kalau aku dapat bonus,” kataku dengan sedikit terkekeh. “Bunda sama
Kak Mei sendiri bagaimana? Sehat-sehat saja kan?”
“Alhamdulillah,
kabar kami baik-baik saja. Di sini kakakmu juga sedang berjuang dengan
kuliahnya. Kamu juga yang semangat, ya, Nak.”
Tiba-tiba
saja aku merasa iri dengan kakak. Saat Kak Mei, mengalami masa-masa yang sulit
begini, ia bisa cerita langsung sama Bunda. Sementara aku, harus menunggu
sekian bulan untuk bisa bertemu dan cerita langsung sama Bunda. Andai saja aku
tidak merantau...
“Rena?
Kamu kenapa?” suara Bunda yang bernada khawatir membuatku tersadar.
“Tidak
apa-apa, Bun. Hanya saja, Rena merasa kangen dengan Bunda dan Kak Mei,” ujarku
lirih.
“Bunda
dan Kak Mei juga kangen sama Rena, tapi Rena harus sadar. Di sana kamu tidak
sendiri. Masih ada banyak temanmu yang nasibnya lebih parah dari kamu. Jangan
mengeluh ya, Nak,” ucap Bunda dengan bijak, “berhubung ini sudah malam, Rena
segera tidur ya, Bunda senandungin, deh.”
Dan
malam itu, aku tidur dengan iringan senandung dari Bunda. Bunda selalu tahu apa
yang aku inginkan. Tiap detik bersamanya bagaikan surga bagiku. Memberi
ketenangan dan kesenangan di saat bersamaan. Terima kasih, Bunda.
Yogyakarta, 6 Desember
2014
*Cerita
ini, kupersembahkan untuk Ibuku tercinta, love you, Mom :*
[o-chan]
Homesick
Reviewed by Ayocchii
on
9:02 PM
Rating:
No comments